Selasa, 01 Juli 2008

Membalas dendam sebelum cerai

Membalas Dendam Sebelum Cerai

Seorang teman baru saja membagi pengalamannya lewat Yahoo Messenger. Dikatakan bahwa ia saat ini sedang dalam kesedihan mendalam. Bukan karena hidupnya kini berada dalam bahaya, bukan pula karena pekerjaannya kini tak teratasi. Tapi ia sedih karena sebuah berita bahwa temannya yang telah menikah kini merencanakan sebuah perceraian. Ia sedih. Namun ia sendiri menemukan dirinya tak berdaya, ia tak tahu apa yang layak diperbuatnya agar mampu menyelamatkan kehidupan keluarga temannya tersebut.
Ketika mendengar sharingnya tersebut, saya teringat beberapa tahun lalu. Saya berhadapan dengan sebuah keluarga di parokiku yang juga dirundung masyalah perceraian. Sebagai imam muda yang belum bermakan garam, saya menanyakan bagaimana solusi terbaik kepada teman pastor senior, yang juga merupakan wakil superiorku. Namun aku dikejutkan oleh jawabannya. Nothing is everlasting under the sun.
Tak ada yang kekal di bawah kolong langit ini.¡¨ Demikian jawabnya santai. Ia menambahkan bahwa ada begitu banyak imam yang nota bene harus mempertahankan imamatnya hingga kekal, justru meninggalkan imamatnya. Kita mungkin memiliki teman yang dulunya seorang imam namun telah meninggalkan imamatnya. Lebih dari itu, ada begitu banyak pasangan hidup berkeluarga, yang pada awalnya diwarnai cinta menggebu-gebu terhadap pasangannya dan berjanji satu sama lain tak akan saling berpisah hingga kekal, kini justru berusaha meninggalkan pasangannya. Kata-kata pastor senior di atas nampaknya aneh, tetapi amat sangat nyata. There is nothing everlasting under the sun. Tak ada yang kekal di bawah kolong langit ini¨, walau kita percaya ada kekekalan. Kita percaya Allah itu kekal, kita percaya ada kehidupan yang kekal. Namun itu adalah kekekalan dunia masa datang.
Temanku tadi masih menanti jawabanku, bagaimana membantu teman yang hidup perkawinannya kini bagaikan telur di ujung tanduk. Aku teringat sebuah kisah yang diceritakan oleh J. Allan Petersen. Petersen berkisah tentang seorang pastor yang dikunjungi oleh seorang ibu sambil membawa serta kebencian yang membara terhadap suaminya. Aku tak hanya ingin agar ia menghilang dari hadapanku. Tetapi aku menginginkan agar ia mengalami hal yang sama seperti yang aku alami. Sebelum bercerai dengannya, aku akan berusaha untuk menyakitinya sedemikian dalamnya sebagaimana yang pernah ia lakukan terhadap diriku. Aku ingin menyakitinya lalu membuangnya bagaikan seonggok sampah.¨
Sang pastor dengan tenang memberikan sebuah anjuran yang amat bagus. Aku setuju dengan rencanamu. Sakiti suamimu sebelum engkau menceraikannya. Tapi tahukah engkau cara yang terbaik untuk menyakitinya? Pulanglah ke rumahmu, dan berusahalah menunjukan betapa engkau seakan-akan mencintainya dengan sungguh. Ungkapkan itu baik lewat kata-katamu maupun lewat tindakanmu. Tunjukan bahwa engkau begitu mencintainya, bahwa engkau begitu care terhadap dirinya, bahwa engkau adalah seorang wanita yang tahu memaafkan, wanita yang mengayomi suamimu. Berikan kata-kata pujian kepadanya, dan katakan kepadanya bahwa engkau tak akan mungkin hidup tanpa kehadiran dirinya. Dan yakinlah bahwa suamimu akan amat tersentuh oleh perubahan dalam dirimu. Dan justru di saat itulah, buanglah bom yang kini engkau simpan, saat itulah katakan kepadanya bahwa engkau ingin menceraikannya. Yakinlah, saat itu suamimu akan mengalami penderitaan yang paling pedih dalam hidupnya, suatu penderitaan yang tak akan pernah dilupakan selama hidupnya.¡¨
Sang wanita tersebut setuju dengan anjuran sang pastor. Ia yakin bahwa suaminya tak hanya akan kehilangan dirinya, tetapi bahkan akan kehilangan hasrat untk hidup. Suaminya akan dilanda depresi yang teramat dalam. Ia kembali dan bertindak seakan-akan¨ ia amat mencintai suaminya, seakan-akan ia amat care terhadap suaminya, seakan ia adalah seorang wanita yang sungguh mendengarkan.
Tiga bulan berlalu. Wanita tersebut tak pernah kembali mengunjungi sang pastor untuk menyelesaikan proses perceraian. Lalu sang pastor menelponnya dan bertanya Apakah anda siap untuk cerai?¨
Cerai? Aku kini tak pernah berpikir tentang perceraian. Aku menemukan bahwa aku sungguh amat mencintai suamiku.¡¨ Jawab sang wanita tersebut. Ternyata tindakan seolah-olah¨ itu telah mengubah perasaannya. Tindakan selalu berkata lebih kuat dari pada perasaan. Kemampuan untuk mewujudkan cinta in action selalu lebih kuat dari pada perasaan¨ yang disembunyikan dalam hati.
Sumber : Tarsis Sigho -

Tidak ada komentar: